Minggu, 11 November 2012

Kisah Tante Girang Denpasar

Rekan-Rekan berada dalam artikel : Kisah Tante Girang Denpasar
selamat membaca dan menikmati semoga bisa
menambah semangat sobat2 menghadapi hari demi hari....

Untuk sementara waktu artikel tentang : Kisah Tante Girang Denpasar
sedang kami edit ulang untuk kepuasan smua pengunjuang blog.
setelah lengkap dan akurat segera kami posting kembali
artikelnya, trims sebelumnya

Untuk pengganti sementara artikel yang sobat2 cari, admin ganti
dengan cerita plus dibawah ini ya...
semoga ceritanya bisa menghibur sobat-sobat...


Dokter Sandra

San… hei aku jaga nich malam ini, elu jangan kirim pasien yang aneh-aneh ya, aku
mau bobo, begitu pesanku ketika terdengar telepon di ujung sana diangkat.
“Udah makan belum?” suara merdu di seberang sana menyahut.
“Cie… illeee, perhatian nich”, aku menyambung dan, “Bodo ach”, lalu terdengar
tuutt… tuuuttt… tuuut, rupanya telepon di sana sudah ditutup.

Malam ini aku dapat giliran jaga di bangsal bedah sedangkan di UGD alias Unit
Gawat Darurat ada dr. Sandra yang jaga. Nah, UGD kalau sudah malam begini jadi
pintu gerbang, jadi seluruh pasien akan masuk via UGD, nanti baru dibagi-bagi
atau diputuskan oleh dokter jaga akan dikirim ke bagian mana para pasien yang
perlu dirawat itu. Syukur-syukur sih bisa ditangani langsung di UGD, jadi tidak
perlu merepotkan dokter bangsal. dr. Sandra sendiri harus aku akui dia cukup
terampil dan pandai juga, masih sangat muda sekitar 28 tahun, cantik menurutku,
tidak terlalu tinggi sekitar 165 cm dengan bodi sedang ideal, kulitnya putih
dengan rambut sebahu. Sifatnya cukup pendiam, kalau bicara tenang seakan
memberikan kesan sabar tapi yang sering rekan sejawat jumpai yaitu ketus dan
judes apalagi kalau lagi moodnya jelek sekali. Celakanya yang sering ditunjukkan,
ya seperti itu. Gara-gara itu barangkali, sampai sekarang dia masih single. Cuma
dengar-dengar saja belakangan ini dia lagi punya hubungan khusus dengan dr.
Anton tapi aku juga tidak pasti.

Kira-kira jam 2 pagi, kamar jaga aku diketuk dengan cukup keras juga.
“Siapa?” tanyaku masih agak malas untuk bangun, sepet benar nih mata.
“Dok, ditunggu di UGD ada pasien konsul”, suara dibalik pintu itu menyahut, oh
suster Lena rupanya.
“Ya”, sahutku sejurus kemudian.

Sampe di UGD kulihat ada beberapa pria di dalam ruang UGD dan sayup-sayup
terdengar suara rintihan halus dari ranjang periksa di ujung sana, sempat
kulihat sepintas seorang pria tergeletak di sana tapi belum sempat kulihat lebih
jelas ketika dr. Sandra menyongsongku, “Fran, pasien ini jari telunjuk kanannya
masuk ke mesin, parah, baru setengah jam sih, tensi oke, menurutku sih amputasi
(dipotong, gitu maksudnya), gimana menurut elu?” demikian resume singkat yang
diberikan olehnya.

“San, elu makin cantik aja”, pujiku sebelum meraih status pasien yang
diberikannya padaku dan ketika aku berjalan menuju ke tempat pasien itu, sebuah
cubitan keras mampir di pinggangku, sambil dr. Sandra mengiringi langkahku
sehingga tidak terlalu lihat apa yang dia lakukan. Sakit juga nih.

Saat kulihat, pasien itu memang parah sekali, boleh dibilang hampir putus dan
yang tertinggal cuma sedikit daging dan kulit saja.
“Dok, tolong dok… jangan dipotong”, pintanya kepadaku memelas.
Akhirnya aku panggil itu si Om gendut, bosnya barangkali dan seorang rekan
kerjanya untuk mendekat dan aku berikan pengertian ke mereka semua.
“Siapa nama Bapak?” begitu aku memulai percakapan sambil melirik ke status untuk
memastikan bahwa status yang kupegang memang punya pasien ini.
“Praptono”, sahutnya lemah.

“Begini Pak Prap, saya mengerti keadaan Bapak dan saya akan berusaha untuk
mempertahankan jari Bapak, namun hal ini tidak mungkin dilakukan karena yang
tersisa hanya sedikit daging dan kulit saja sehingga tidak ada lagi pembuluh
darah yang mengalir sampai ke ujung jari. Bila saya jahit dan sambungkan, itu
hanya untuk sementara mungkin sekitar 2 - 4 hari setelah itu jari ini akan
membusuk dan mau tidak mau pada akhirnya harus dibuang juga, jadi dikerjakan 2
kali. Kalau sekarang kita lakukan hanya butuh 1 kali pengerjaan dengan hasil
akhir yang lebih baik, saya akan berusaha untuk seminimal mungkin membuang
jaringannya dan pada penyembuhannya nanti diharapkan lebih cepat karena lukanya
rapih dan tidak compang-camping seperti ini”, begitu penjelasan aku pada mereka.

Kira - kira seperempat jam kubutuhkan waktu untuk meyakinkan mereka akan
tindakan yang akan kita lakukan. Setelah semuanya oke, aku minta dr. Sandra
untuk menyiapkan dokumennya termasuk surat persetujuan tindakan medik dan
pengurusan untuk rawat inapnya, sementara aku siapkan peralatannya dibantu oleh
suster-suster dinas di UGD.

“San, elu mau jadi operatornya?” tanyaku setelah semuanya siap.
“Ehm… aku jadi asisten elu aja deh”, jawabnya setelah terdiam sejenak.

Entah kenapa ruangan UGD ini walaupun ber-AC tetap saja aku merasa panas
sehingga butir-butir keringat yang sebesar jagung bercucuran keluar terutama
dari dahi dan hidung yang mengalir hingga ke leher saat aku kerja itu. Untung
Sandra mengamati hal ini dan sebagai asisten dia cepat tanggap dan berulang kali
dia menyeka keringatku. Huh… aku suka sekali waktu dia menyeka keringatku,
soalnya wajahku dan wajahnya begitu dekat sehingga aku juga bisa mencium wangi
tubuhnya yang begitu menggoda, lebih-lebih rambutnya yang sebahu dia gelung ke
atas sehingga tampak lehernya yang putih berjenjang dan tengkuknya yang
ditumbuhi bulu-bulu halus. Benar-benar menggoda iman dan harapan.

Setengah jam kemudian selesai sudah tugasku, tinggal jahit untuk menutup luka
yang kuserahkan pada dr. Sandra. Setelah itu kulepaskan sarung tangan sedikit
terburu-buru, terus cuci tangan di wastafel yang ada dan segera masuk ke kamar
jaga UGD untuk pipis. Ini yang membuat aku tidak tahan dari tadi ingin pipis.
Daripada aku mesti lari ke bangsal bedah yang cukup jauh atau keluar UGD di
ujung lorong sana juga ada toilet, lebih baik aku pilih di kamar dokter jaga UGD
ini, lagi pula rasanya lebih bersih.

Saat kubuka pintu toilet (hendak keluar toilet), “Ooopsss…” terdengar jeritan
kecil halus dan kulihat dr. Sandra masih sibuk berusaha menutupi tubuh bagian
atasnya dengan kaos yang dipegangnya.
“Ngapain lu di sini?” tanyanya ketus.
“Aku habis pipis nih, elu juga kok nggak periksa-periksa dulu terus ngapain elu
buka baju?” tanyaku tak mau disalahkan begitu saja.
“Ya, udah keluar sana”, suaranya sudah lebih lembut seraya bergerak ke balik
pintu biar tidak kelihatan dari luar saat kubuka pintu nanti.

Ketika aku sampai di pintu, kulihat dr. Sandra tertunduk dan… ya ampun….
pundaknya yang putih halus terlihat sampai dengan ke pangkal lengannya, “San,
pundak elu bagus”, bisikku dekat telinganya dan semburat merah muda segera
menjalar di wajahnya dan ia masih tertunduk yang menimbulkan keberanianku untuk
mengecup pundaknya perlahan. Ia tetap terdiam dan segera kulanjutkan dengan
menjilat sepanjang pundaknya hingga ke pangkal leher dekat tengkuknya. Kupegang
lengannya, sempat tersentuh kaos yang dipegangnya untuk menutupi bagian depan
tubuhnya dan terasa agak lembab. Rupanya itu alasannya dia membuka kaosnya untuk
menggantinya dengan yang baru. Berkeringat juga rupanya tadi.

Perlahan kubalikkan tubuhnya dan segera tampak punggungnya yang putih mulus,
halus dan kurengkuh tubuhnya dan kembali lidahku bermain lincah di pundak dan
punggungnya hingga ke tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan kusapu
dengan lidahku yang basah. “Aaaccch… ach…” desahnya yang pertama dan disusul
dengan jeritan kecil tertahan dilontarkannya ketika kugigit urat lehernya dengan
gemas dan tubuhnya sedikit mengejang kaku. Kuraba pangkal lengannya hingga ke
siku dan dengan sedikit tekanan kuusahakan untuk meluruskannya sikunya yang
secara otomatis menarik kaos yang dipegangnya ikut turun ke bawah dan dari
belakang pundaknya itu.

Kulihat dua buah gundukan bukit yang tidak terlalu besar tapi sangat menantang
dan pada bukit yang sebelah kanan tampak tonjolannya yang masih berwarna merah
dadu sedangkan yang sebelah kiri tak terlihat. Kusedot kembali urat lehernya dan
ia menjerit tertahan, “Aach… ach… ssshhh”, tubuhnya pun kurasakan semakin lemas
oleh karena semakin berat aku menahannya.

Dengan tetap dalam dekapan, kubimbing dr. Sandra menuju ke ranjang yang ada dan
perlahan kurebahkan dia, matanya masih terpejam dengan guratan nikmat terhias di
senyum tipisnya, dan secara refleks tangannya bergerak menutupi buah dadanya.
Kubaringkan tubuhku sendiri di sampingnya dengan tangan kiri menyangga beban
tubuh, sedangkan tangan kanan mengusap lembut alis matanya terus turun ke
pangkal hidung, mengitari bibir terus turun ke bawah dagu dan berakhir di ujung
liang telinganya.

Senyum tipis terus menghias wajahnya dan berakhir dengan desahan halus disertai
terbukanya bibir ranum itu. “Ssshhh… acchh…” Kusentuhkan bibirku sendiri ke
bibirnya dan segera kami saling berpagutan penuh nafsu. Kuteroboskan lidahku
memasuki mulut dan mencari lidahnya untuk saling bergesekan kemudian kugesekan
lidahku ke langit-langit mulutnya, sementara tangan kananku kembali menelusuri
lekuk wajahnya, leher dan terus turun menyusuri lembah bukit, kudorong tangan
kanannya ke bawah dan kukitari putingnya yang menonjol itu. Lima sampai tujuh
kali putaran dan putingnya semakin mengeras. Kulepaskan ciumanku dan kualihkan
ke dagunya. Sandra memberikan leher bagian depannya dan kusapu lehernya dengan
lidahku terus turun dan menyusuri tulang dadanya perlahan kutarik tangannya yang
kiri yang masih menutupi bukitnya. Tampak kini dengan jelas kedua puting susunya
masih berwarna merah dadu tapi yang kiri masih tenggelam dalam gundukan bukit.
Feeling-ku, belum pernah ada yang menyentuh itu sebelumnya.

Kujilat tepat di area puting kirinya yang masih terpendam malu itu pada jilatan
yang kelima atau keenam, aku lupa. Puting itu mulai menampakkan dirinya dengan
malu-malu dan segera kutangkap dengan lidah dan kutekankan di gigi bagian atas,
“Ach… ach… ach…” suara desisnya semakin menjadi dan kali ini tangannya juga
mulai aktif memberikan perlawanan dengan mengusap rambut dan punggungku. Sambil
terus memainkan kedua buah payudaranya tanganku mulai menjelajah area yang baru
turun ke bawah melalui jalur tengah terus dan terus menembus batas atas celana
panjangnya sedikit tekanan dan kembali meluncur ke bawah menerobos karet celana
dalamnya perlahan turun sedikit dan segera tersentuh bulu-bulu yang sedikit
lebih kasar. “Eeehhhm… ech…” tidak diteruskan tapi bergerak kembali naik
menyusuri lipatan celana panjangnya dan sampai pada area pinggulnya dan segera
kutekan dengan agak keras dan mantap, “Ach…” pekiknya kecil pendek seraya
bergerak sedikit liar dan mengangkat pantat dan pinggulnya.

Segera kutekan kembali lagi pinggul ini tapi kali ini kulakukan keduanya kanan
dan kiri dan, “Fran… ugh…” teriaknya tertahan. Aku kaget juga, itu kan artinya
Sandra sadar siapa yang mencumbunya dan itu juga berarti dia memang memberikan
kesempatan itu untukku. Matanya masih terpejam hanya-hanya kadang terbuka.
Kutarik restleting celananya dan kutarik celana itu turun. Mudah, oleh karena
Sandra memang menginginkannya juga, sehingga gerakan yang dilakukannya sangat
membantu. Tungkainya sangat proporsional, kencang, putih mulus, tentu dia
merawatnya dengan baik juga oleh karena dia juga kan berasal dari keluarga kaya,
kalau tidak salah bapaknya salah satu pejabat tinggi di bea cukai. Kuraba paha
bagian dalamnya turun ke bawah betis, terus turun hingga punggung kaki dan
secara tak terduga Sandra meronta dan terduduk, dengan nafas memburu dan
tersengal-sengal, “Fran…” desisnya tertelan oleh nafasnya yang masih memburu.

Kemudian ia mulai membuka kancing bajuku sedikit tergesa dan kubantunya lalu ia
mulai mengecup dadaku yang bidang seraya tangannya bergerak aktif menarik
retsleting celanaku dan menariknya lepas. Langsung saja aku berdiri dan
melepaskan seluruh bajuku dan kuterjang Sandra sehingga ia rebah kembali dan
kujilat mulai dari perutnya. Sementara tangannya ikut mengimbangi dengan
mengusap rambutku, ketika aku sampai di selangkangannya kulihat ia memakai
celana berwarna dadu dan terlihat belahan tengahnya yang sedikit cekung
sementara pinggirnya menonjol keluar mirip pematang sawah dan ada sedikit noda
basah di tengahnya tidak terlalu luas, ada sedikit bulu hitam yang mengintip
keluar dari balik celananya. Kurapatkan tungkainya lalu kutarik celana dalamnya
dan kembali kurentangkan kakinya seraya aku juga melepas celanaku. Kini kami
sama berbugil, kemaluanku tegang sekali dan cukup besar untuk ukuranku.
Sementara Sandra sudah mengangkang lebar tapi labia mayoranya masih tertutup
rapat. Kucoba membukanya dengan jari-jari tangan kiriku dan tampak sebuah lubang
kecil sebesar kancing di tengahnya diliputi oleh semacam daging yang berwarna
pucat demikian juga dindingnya tampak berwarna pucat walau lebih merah
dibandingkan dengan bagian tengahnya. Gila, rupanya masih perawan.

Tak lama kulihat segera keluar cairan bening yang mengalir dari lubang itu oleh
karena sudah tidak ada lagi hambatan mekanik yang menghalanginya untuk keluar
dan banjir disertai baunya yang khas makin terasa tajam. Baru saat itu
kujulurkan lidahku untuk mengusapnya perlahan dengan sedikit tekanan. “Eehhh…
ach… ach… ehhh”, desahnya berkepanjangan. Sementara lidahku mencoba untuk
membersihkannya namun banjir itu datang tak tertahankan. Aku kembali naik dan
menindih tubuh Sandra, sementara kemaluanku menempel di selangkangannya dan aku
sudah tidak tahan lagi kemudian aku mulai meremas payudara kanannya yang kenyal
itu dengan kekuatan lemah yang makin lama makin kuat.

“Fran… ambilah…” bisiknya tertahan seraya menggoyangkan kepalanya ke kanan dan
ke kiri sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi. Dengan tangan kanan kuarahkan
torpedoku untuk menembak dengan tepat. Satu kali gagal rasanya melejit ke atas
oleh karena licinnya cairan yang membanjir itu, dua kali masih gagal juga namun
yang ketiga rasanya aku berhasil ketika tangan Sandra tiba-tiba memegang erat
kedua pergelangan tanganku dengan erat dan desisnya seperti menahan sakit dengan
bibir bawah yang ia gigit sendiri. Sementara batang kejantananku rasanya mulai
memasuki liang yang sempit dan membuka sesuatu lembaran, sesaat kemudian seluruh
batang kemaluanku sudah tertanam dalam liang surganya dan kaki Sandra pun sudah
melingkari pinggangku dengan erat dan menahanku untuk bergerak. “Tunggu”,
pintanya ketika aku ingin bergerak.

Beberapa saat kemudian aku mulai bergerak mengocoknya perlahan dan kaki Sandra
pun sudah turun, mulanya biasa saja dan respon yang diberikan juga masih minimal,
sesaat kemudian nafasnya kembali mulai memburu dan butir-butir keringat mulai
tampak di dadanya, rambutnya sudah kusut basah makin mempesona dan gerakan
mengocokku mulai kutingkatkan frekuensinya dan Sandra pun mulai dapat
mengimbanginya.

Makin lama gerakan kami semakin seirama. Tangannya yang pada mulanya diletakkan
di dadaku kini bergerak naik dan akhirnya mengusap kepala dan punggungku. “Yach…
ach… eeehmm”, desisnya berirama dan sesaat kemudian aku makin merasakan liang
senggamanya makin sempit dan terasa makin menjempit kuat, gerakan tubuhnya makin
liar. Tangannya sudah meremas bantal dan menarik kain sprei, sementara
keringatku mulai menetes membasahi tubuhnya namun yang kunikmati saat ini adalah
kenikmatan yang makin meningkat dan luar biasa, lain dari yang kurasakan selama
ini melalui masturbasi. Makin cepat, cepat, cepat dan akhirnya kaki Sandra
kembali mengunci punggungku dan menariknya lebih ke dalam bersamaan dengan
pompaanku yang terakhir dan kami terdiam, sedetik kemudian.. “Eeeggghhh…”
jeritannya tertahan bersamaan dengan mengalirnya cairan nikmat itu menjalar di
sepanjang kemaluanku dan, “Crooot… crooot”, memberikannya kenikmatan yang luar
biasa. Sebaliknya bagi Sandra terasa ada semprotan kuat di dalam sana dan
memberikan rasa hangat yang mengalir dan berputar serasa terus menembus ke dalam
tiada berujung. Selesai sudah pertempuran namun kekakuan tubuhnya masih
kurasakan, demikian juga tubuhku masih kaku.

Sesaat kemudian kuraih bantal yang tersisa, kulipat jadi dua dan kuletakkan
kepalaku di situ setelah sebelumnya bergeser sedikit untuk memberinya nafas agar
beban tubuhku tidak menindih paru-parunya namun tetap tubuhku menindih tubuhnya.
Kulihat senyum puasnya masih mengembang di bibir mungilnya dan tubuhnya terlihat
mengkilap licin karena keringat kami berdua.

“Fran… thank you”, sesaat kemudian, “Ehmmm… Fran aku boleh tanya?” bisiknya
perlahan.
“Ya”, sahutku sambil tersenyum dan menyeka keringat yang menempel di ujung
hidungnya.
“Aku… gadis keberapa yang elu tidurin?” tanyanya setelah sempat terdiam sejenak.
“Yang pertama”, kataku meyakinkannya, namun Sandra mengerenyitkan alisnya. “Sungguh?”
tanyanya untuk meyakinkan.
“Betul… keperawanan elu aku ambil tapi perjakaku juga elu yang ambil”, bisikku
di telinganya. Sandra tersenyum manis.
“San, thank you juga”, itu kata-kata terakhirku sebelum ia tidur terlelap
kelelahan dengan senyum puas masih tersungging di bibir mungilnya dan batang
kemaluanku juga masih belum keluar tapi aku juga ikut terlelap.




JANGAN LUPA BACA BACA ARTIKEL DIBAWAH INI YA SOB... ADA CERITA DEWASANYA SERU SERU LO...  DIJAMIN FRESH DAN SEMANGAT LAGI SOB...

2 komentar: